Jasa-jasa Pak Nadiem untuk Pendidikan Tinggi di Indonesia
Akhir-akhir ini, bersamaan dengan adanya kabinet baru di Indonesia, nama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, yaitu Pak Nadiem Makarim atau yang lebih dikenal dengan sebutan Mas Menteri, ramai diperbincangkan.
Banyak yang menyoroti mengenai buruknya implementasi Kurikulum Merdeka di sekolah-sekolah. Netizen ramai-ramai menyuarakan "memerdekakan murid" tapi "memenjarakan guru". Wajar sih, karena di kurikulum ini seorang guru dituntut untuk mengadopsi kurikulum merdeka dengan sistem belajar yang "baru" dalam waktu yang singkat, administrasi yang seabrek, wajib mengikuti pelatihan dan seminar, dan lain-lain, tapi gaji ga naik-naik. Yang paling parah adalah, masih kata netizen, banyak siswa SMP yang bahkan tidak bisa membaca dan berhitung sederhana (silahkan cari sendiri di internet pemberitaannya). Ok, kita simpan dulu keluh kesah ini.
But, saya pribadi, sebagai pengajar di Kampus, jujur mengakui bahwa kebijakan-kebijakan di era Mas Menteri , terutama di lingkungan Pendidikan Tinggi, tidak seburuk itu kok. Berikut adalah beberapa kebijakan di zaman Mas Menteri yang menurut saya pribadi berdampak positif.
1. Kurikulum Merdeka
Meskipun tidak sempurna, tapi beberapa kegiatan di kurikulum merdeka cukup OK. Kegiatan ini memberikan pengalaman baru kepada mahasiswa. Dua program yang paling diminati mahasiswa adalah Magang Bersrtifikat dan Pembelajaran Mandiri. Magang Industri memberikan kesempatan mahasiswa untuk menerapkan ilmu yang ia dapat dari kampus untuk bisa diterapkan di tempat kerja. Atau sebaliknya, melihat penerapan teknologi di industri, agar tahu apa yang tidak diajarkan di kampus. Dari program ini, kampus bisa melihat 'gap' atau kesenjangan antara materi di kampus dan industri. Selama ini, dunia pendidikan dan dunia industri terlalu dikotomis. Sehingga ketika lulus, mahasiswa yang masuk ke industri kerja akan kikuk. Tak jarang, materi yang didapat dari kampus sudah terlalu kuno sehingga tidak relevan lagi diterapkan di industri. Program Pembelajaran Mandiri juga memberikan kesempatan mahasiswa untuk belajar hal yang menarik minat, tapi ga didapat di kampus. Jika dilakukan dengan benar, ini bisa menjadi modal agar bisa lebih kompeten di dunia industri nanti.
2. Digitalisasi dan Sinkronisasi Data Dosen
Saya ingat betul, awal-awal Mas Nadiem menjabat, beberapa paltform DIKTI berubah penampilannya. Diantaranya adalah PDDIKTI, BPI, Sinta, dan Sister. Minimal tampilannya lebih modern dan cepat. Setelah itu yang krusial juga adalah integrasi dan sinkronisasi data antar platfom. Misalnya : Data publikasi di Sinta bisa diimport di Sister. Data di Sister bisa langsung ditarik otomatis untuk laporan BKD (Bukti Kinerja Dosen). Dan terakhir data di sister bisa disinkronkan juga dengan Platform untuk Promosi Jabatan Akademik. Dimana sebelumnya semua data ini terpisah dan harus ketik ulang MANUAL, walaupun konten nya sama. Tidak hanya itu, belakangan saya tahu bahwa data-data di Sinta dan Sister itu dipakai sebagai salah satu komponen penilaian dan akreditasi kampus juga. Jadi saat ini kampus bener-bener aware dengan data-data di platform tersebut.
3. Masifnya Sertifikasi Dosen
Di zaman Mas Nadiem, persyaratan untuk Serdos diperjelas. Walaupun dibanding edisi sebelumnya, syaratnya lebih banyak, akan tetapi lebih jelas. Semua informasinya ada di laman Sister setiap dosen. Dampaknya, setiap dosen aware dengan kinerja dan target-targetnya. Misalnya : dosen yang eligible harus memenuhi BKD 2 tahun berturut-turut, dibuktikan dengan input BKD di Sister. Harus punya sertifikat TKDA, TKBI, dan Pekerti. Saya pribadi waktu itu sudah nyicil semua syarat-syaratnya. Hanya minus masa kerja saja yang belum mencukupi. Sehingga ketika masa kerja sudah cukup, tinggal pengajuan, verified, dan selesai. Selancar itu. Dan dalam waktu kurang dari lima tahun ini, sudah banyak dosen yang tersertifikasi atau setidaknya melek sertifikasi. Meskipun secara total, target sertifikasi dosen masih jauh dari harapan.
4. Menjalankan BKD Dosen
BKD adalah Bukti Kinerja Dosen. Melalui laporan BKD ini seorang dosen diminta melaporkan apa-apa saja yang dilakukannya selama satu semester. Awalnya yang wajib mengisi BKD adalah dosen yang sudah tersertifikasi. Tapi belakangan diwajibkan untuk semua dosen. Ada yang pro dan kontra mengenai kebijakan ini. Tapi menurut saya pribadi, BKD menjadi penting karena dapat digunakan untuk mengukur aktifitas dan kinerja dosen. Kebanyakan dosen biasanya hanya fokus mengajar saja dan mengabaikan penelitian dan pengabdian. Tapi dengan adanya BKD ini, seorang dosen dipaksa untuk melakukan penelitian dan pengabdian, selain tetap mengajar di kampus. Salah satu dampak paling nyata dari kebijakan ini adalah mendorong publikasi dosen.
5. Mendorong Publikasi Dosen
Bisa digoogling, bahwa sebelum era Pak Nadiem, jumlah penelitian dosen di Indonesia sangat minim. Kalah jauh dari Singapura, Malaysia, dan Thailand. Bahkan hampir disalip Vietnam. Padahal jumlah kampus di Indonesia tidak kalah banyak jumlahnya. Tapi kenapa publikasinya sedikit sekali ? Ini yang jadi pertanyaan. Kebijakan BKD dosen, utamanya di bidang penelitian dan publikasi mengubah fakta ini. Awalnya, semuanya jenis penelitian diperbolehkan. Bahkan penelitian yang tidak dipublikasikan pun boleh dijadikan syarat BKD. Tahun berikutnya sistem diupgrade. Sistem publikasi SINTA dibenerin. Dibuat berjenjang dari Sinta 1 sampai 6. Bagi dosen pemula, boleh lah coba-coba di Sinta 6 dan 5. Proses reviewnya mudah, tapi poinnya kecil. Setelah mahir, naik ke Sinta 4 dan 3. Setelah itu naik ke Sinta 2 dan 1. Dan baru lanjut ke Scopus ataupun Web of Science. Kebijakan ini meningkatkan jumlah publikasi Indonesia secara signifikan. Walaupun ada yang mengkritik karena kualitasnya yang ga bagus. Tapi menurut saya itu proses. Mending ada, banyak, ga bagus. Daripada tidak ada sama sekali. Bayangkan kalau kebijakan ini tidak dimulai. Mungkin saja hari ini kita udah disalip Vietnam. Nyatanya sekarang kita bisa menyalip Thailand dan Malaysia. Di dalam negeri, banyaknya publikasi jurnal ini juga bermanfaat untuk mencari referensi dari karya dosen/mahasiswa lain. Tinggal googling aja, sudah bertebaran banyak jurnal. Jurnal-jurnal ini bisa digunakan sebagai bahan referensi saja, bahan inspirasi, bahkan kolaborasi. Ini yang dulu susah didapatkan.
Bisa dilihat disini : https://www.kompas.id/baca/opini/2023/03/20/dari-terburuk-kedua-menjadi-yang-terbaik, https://dataindonesia.id/pendidikan/detail/publikasi-ilmiah-terindeks-scopus-asal-indonesia-turun-pada-2022
Dari fakta-fakta ini, saya menyimpulkan bahwa :
"Mungkin kebijakan pendidikan di era Mas Menteri ini lebih cocok diadopsi di lingkungan pendidikan tinggi. Sementara itu implementasi di tingkat pendidikan dasar dan menengah perlu dikaji ulang. Menurut hipotesa saya ini terjadi karena civitas di level pendidikan tinggi lebih siap, dapat cepat berubah, dan beradaptasi dengan kebijakan baru ini. Ini bisa dipahami karena baik siswa maupun pengajarnya cenderung lebih memiliki akses dibanding civitas di level dasar dan menengah. Contoh paling simpel adalah perseberan informasi lewat internet. Saya hakul yakin, semua civitas di level pendidikan tinggi bisa mengakses informasi lewat internet dengan mudah. Karena hampir semuanya melek dan punya teknologinya. Sementara di level pendidikan dasar dan menengah lebih sulit, baik dari siswa maupun guru-gurunya".
Sebagai penutup saya ingin mengucapkan "Terima Kasih", kepada Mas Menteri. Apapun itu, tapi perubahan itu ada. Tidak ada yang sempurna. Tapi tidak ada juga yang sia-sia. Tinggal sudut pandang mana yang kita gunakan.
Post a Comment